Monday 30 May 2016

PULAU MAYAT

Beberapa hari belakangan ini, Marman suka memanjat pohon-pohon kelapa yang tinggi tinggi di kampungnya, setelah menjatuhkan beberapa tandan buah kelapa yang telah tua, dia pun duduk berlama lama memandang kejauhan. Sejauh matanya memandang, hamparan laut terlihat begitu tenang, Banda Aceh seperti perca besar yang dibentangkan.
Tapi di bawah pohon kelapa yang dipanjatnya, ayam ayam berlarian mengeluarkan suara suara aneh yang belum pernah didengarnya, bahkan kucing peliharaannya ikut pula hendak memanjat pohon kelapa.
Tengah malam kemarin Ibu dan istrinya malah terbangun, mereka mendengar suara burung-burung malam yang terus berbunyi tak seperti biasanya, tak henti henti hingga subuh tiba. Ibunya mengatakan itu suatu tanda ada peristiwa besar yang akan terjadi.
Tapi peristiwa apa itu? Kapan? Marwan bertanya tanya.
Marwan masih mencoba ke laut untuk mencari ikan keesokan harinya, pukul empat dinihari dia berangkat dari rumahnya yang cuma berjarak seratus meter dari pantai.
“Hari ini janganlah melaut dulu kau, istirahatlah dulu, aku pun tak enak badan sejak tadi malam,” tahan istrinya.
Tapi Marwan berkeras melaut juga.
Saat Marwan dan dua kawannya tiba di tengah samudera pagi harinya, di tengah angin yang berhembus pelan, langit terlihat cerah. Tiba-tiba mereka mendengar suara gemuruh, mesin kapal tersengal-sengal seperti tersangkut pukat, beberapa detik kemudian air laut turun membentuk jurang sangat dalam dan perahu Marwan tersedot ke dasar bumi.
Belum hilang kekagetan mereka dengan kejadian yang tak pernah mereka alami selama ini, tiba-tiba perahu kembali dilemparkan ke atas dengan cepat, tapi kemudian ombak kembali tenang, seperti tak terjadi apa-apa.
Panik dengan kejadian itu, Marwan mengajak rekannya untuk bergegas pulang. Kemana larinya ombak raksasa itu? Tanya hati Marwan heran. Firasatnya mengatakan ada kejadian besar di darat.
Ketika mendekati pantai, apa yang dikhawatirkannya benar terjadi, melebihi apa yang dia bayangkan sebelumnya.
Pulau Nasi luluh lantak, Marwan berlari ke rumahnya, orang-orang ramai sedang mengurus mayat Ibu, istri dan anak Cut Rani. Marwan sungguh menyesal tidak menuruti nasihat istrinya untuk beristirahat.
Marwan merasa dialah yang lebih baik mati daripada istrinya….
Sehabis memakamkan Ibu, istri dan anak-anaknya serta beberapa korban lainnya, Keuchik yang memimpin upacara penguburan mencoba tersenyum sesaat setelah mengecek warganya yang ternyata banyak yang selamat karena mereka sempat berlarian ke bukit. Dia menepuk-nepuk bahu Marwan meminta Marwan tabah, peluh membanjir sehabis memakamkan beberapa korban yang meninggal di kampung mereka.
Marwan termenung sedih di atas bukit, memandang Banda Aceh di kejauhan yang membentang beberapa belas Mil dari kampungnya, tapi pemandangan itu tidak biasanya, begitu banyak perubahan terlihat disana.
Tiba tiba Marwan terkesiap, arus pantai membawa beberapa sosok mayat yang merapat. Marwan turun dari bukit sambil berteriak memanggili orang orang sekampungnya.
“Ada mayat, ada mayat!”
Beberapa orang kampung ikut berlarian ke pinggir pantai, dengan lelah setelah mengubur beberapa mayat di kampungnya sendiri, mereka menarik mayat-mayat itu ke darat dan menguburkannya dengan kain kafan yang tersisa di meunasah.
Tapi sore harinya, mayat mayat kembali terdampar, jumlahnya semakin banyak dan setiap jam terus bertambah tambah.
Marwan dan penduduk kampung hanya berdiri memandang tanpa bisa berkata kata, mereka sudah tak sanggup menguburkan mayat mayat itu lagi. Seseorang tiba-tiba datang dari arah lain sambil berteriak-teriak.
“Aku dari pulau beras, kami semua harus mengungsi, hampir semua penduduk kami tewas! Orang orang di Pasijaneung, Deudap hilang dibawa arus ke laut lepas. Di Alur Rieung mayat mayat berserakan, tak ada yang menguburkannya!” lalu setelah berteriak histeris, dia terhempas ke tanah, dia menangis tanpa suara, tangannya mencakar cakar tanah, membentur benturkan kepalanya.
Keuchik desa pantai Lamting langsung mendatangi laki-laki itu dan mengangkatnya, memeluknya, tapi laki-laki itu terus menggerung-gerung hingga Keuchik melepaskannya dan dia terus menggerung mencakari tanah. Marwan dan para penduduk lainnya menatap nanar tanpa bisa melakukan apa apa.
Nun di bibir pantai, serombongan mayat kembali terdampar, bertumpuk tumpuk. Marwan melapaskan pandangannya ke pantai Banda Aceh, ke Pulau Beras di sisi barat yang cuma berjarak dua ratus limapuluh meter. Disana mungkin sudah jadi neraka dan mereka semua meninggal, pikirnya. “Kita harus mengungsi,” kata Keuchik malam itu di meunasah, salah satu bangunan yang selamat.
“Selain rumah ini, kita cuma tinggal memiliki rumah sekretaris desa dan bangunan Koramil, semuanya telah hancur, beruntung hanya empat orang yang meninggal di kampung kita, tapi di kampung lain sangat banyak. Mayat berserakan mengepung kita. Kita harus mengungsi dari pulau ini sebelum mayat menjadi lebih banyak daripada manusia yang hidup.”
Marwan dan semua penduduk desa Lamting tercekat tak bisa menjawab, kecuali suara generator listrik sebagai penerangan meunasah yang mengisi keheningan malam.
“Besok pagi kita harus mengungsi ke pelabuhan menunggu perahu, siapa tahu ada perahu yang datang. Pulau ini tak ada makanan dan akan penuh penyakit!”
Seseorang kemudian muncul sambil berteriak-teriak dari arah pantai. “Mayat-mayat dimakan anjing di pantai, anjing-anjing turun dari hutan, kita harus mengusir anjing-anjing itu!” teriaknya ketakutan, wajahnya mengkilat karena keringat.
“Kalau tidak mengungsi, maka kita juga akan dimakan anjing yang ketagihan mayat.”
Marwan dan penduduk desa lainnya menggigil ketakutan. Malam itu pun berlalu sangat mencekam.
Keesokan paginya, hampir semua penduduk desa Lamting mengikuti Keuchik-nya mengungsi ke pelabuhan, begitu juga penduduk desa-desa lainnya, walau mereka tahu pelabuhan sudah luluh lantak dan perahu akan meraba raba di mana mereka mesti mendarat.
Tapi Marwan dan beberapa laki-laki lainnya tak hendak meninggalkan desa mereka, mereka termenung di pebukitan dan melihat mayat-mayat terus terdampar, bertumpuk-tumpuk dengan baju yang berwarna-warni, lelaki, perempuan dan anak anak.
Hingga malam hari, hanya tinggal Marwan seorang diri karena beberapa kawannya tak sanggup berlama lama melihat mayat-mayat yang terus berdatangan itu.
Lalu Marwan melihat banyak anjing bermunculan dan menyerbu ke arah pantai, biasanya anjing tak sebanyak malam ini, pikirnya. Anjing-anjing itu tampak bergembira, suaranya tidak seperti biasa, mereka menciumi dan menarik-narik mayat. Mereka memilih-milih mana yang hendak mereka santap lebih dulu.
Perlahan bersama anjing-anjing lainnya yang datang menyusul kemudian, Marwan turun ke pantai, anjing-anjing itu tak takut padanya. Salah seekor anjing yang berbulu sangat hitam dan bertubuh lebih besar dari anjing lainnya sudah menarik narik isi perut dari sesosok mayat anak anak hingga semua isi perut mayat anak itu terburai.
Marwan tak berani mengusir anjing itu, dia berjalan pelan memperhatikan mayat mayat lainnya, sinar rembulan yang menyala keemasan membuat wajah-wajah mayat itu berkilau tertimpa cahaya.
Di kejauhan Marwan melihat ada cahaya kecil yang bersinar seperti bintang timur, Marwan penasaran dan ingin mengetahui benda itu. Mungkin intan atau mutiara di tubuh mayat, pikir Marwan.
Benar saja, setelah didatanginya, sesosok mayat perempuan yang tengadah memandang langit, di lehernya terdapat kalung bertahtakan benda bercahaya itu. Ini pasti sangat mahal, pikir Marwan.
Marwan seketika berpikir, kalau dia periksa mayat-mayat yang terdampar ini satu persatu, pastilah di antara mereka banyak yang memiliki barang barang berharga.
Uang, cincin, kalung berlian….
Seketika sudut-sudut hati Marwan bergejolak antara mengambil benda-benda berharga si mayat atau membiarkannya saja. Tapi disertai niat baik, Marwan segera mengambil kalung mayat perempuan itu.
Aku akan menyerahkan benda ini kepada Keuchik, kalau bisa dijual untuk membeli makanan, untuk kepentingan orang yang masih hidup.
Maka Marwan segera memeriksa mayat-mayat lainnya, terutama mayat perempuan. Tak sampai satu jam dia sudah memeriksa hampir seratus mayat, dia berhasil mengumpulkan lima buah cincin emas dengan hiasan batu batu mulia, juga cincin kawin, beberapa dompet berisi uang, anting anting. Kalau semua dijumlahkan pastilah harganya sangat mahal. Terakhir dia menarik jaket kulit dari sesosok mayat laki laki gemuk berkulit putih.
Marwan lalu meninggalkan pinggir pantai yang terus didatangi mayat-mayat itu, tapi rupanya anjing-anjing hutan itu tak ingin dia pergi begitu saja. Anjing-anjing itu seperti tak rela Marwan mengambil barang-barang milik mayat yang mereka anggap sebagai milik mereka.
Salah seekor anjing menerkam Marwan seperti babi buruan, Marwan berusaha melawan dan mereka pun bergumul, tapi anjing-anjing lainnya segera datang membantu dan mereka mengeroyok Marwan.
Anjing-anjing itu berhasil melukai dan menggigiti Marwan dengan kuku dan taring taringnya. Marwan sangat panik dan ketakutan, dia lepaskan semua yang diambilnya dari mayat-mayat itu. Marwan lalu berlari, dan anjing-anjing itu masih terus memburunya hingga beberapa puluh meter, setelah Marwan tak berani mendekat lagi, anjing-anjing itu cepat berbalik mendatangi mayat.
Dan Marwan terus berlari menjauhi pantai.
Siang hari Marwan bersama Keuchik dan penduduk desa lainnya menunggu di pelabuhan yang luluh lantak, berharap datang bantuan perahu menjemput mereka. Luka luka bekas cakaran dan gigitan anjing-anjing hutan itu tadi malam mulai terasa gatal di luka lukanya yang basah.
Siang berlalu, tak ada perahu yang merapat. Baru ketika petang, saat matahari sebentar lagi tenggelam di ufuk barat, sebuah perahu di tengah laut kebingungan hendak merapat. Keuchik memerintahkan beberapa orang untuk menyambut perahu itu.
Perahu itu membawa sedikit makanan dan air bersih dari Banda Aceh, tanpa mesin. Si pemilik perahu mendatangi sekejap saudara saudaranya yang selamat, lalu bersama beberapa orang yang mau mengungsi, dia membawa perahunya kembali ke Banda Aceh, tepat disaat malam mulai turun. Perahu didayung perlahan, semua orang tak ada yang bercakap cakap. Hanyut dengan kesedihan mereka masing-masing.

Marwan termenung memandangi pulau tempat tinggalnya yang semakin jauh di belakang. Lama lama diperhatikannya pulau itu seperti mayat yang mengapung, terombang-ambing pelan di permainkan gelombang, di bawah remang cahaya bulan.

No comments:

Post a Comment

apakah blog ini menarik ??