Beberapa
hari belakangan ini, Marman suka memanjat pohon-pohon kelapa yang tinggi tinggi
di kampungnya, setelah menjatuhkan beberapa tandan buah kelapa yang telah tua,
dia pun duduk berlama lama memandang kejauhan. Sejauh matanya memandang, hamparan
laut terlihat begitu tenang, Banda Aceh seperti perca besar yang dibentangkan.
Tapi
di bawah pohon kelapa yang dipanjatnya, ayam ayam berlarian mengeluarkan suara
suara aneh yang belum pernah didengarnya, bahkan kucing peliharaannya ikut pula
hendak memanjat pohon kelapa.
Tengah
malam kemarin Ibu dan istrinya malah terbangun, mereka mendengar suara
burung-burung malam yang terus berbunyi tak seperti biasanya, tak henti henti
hingga subuh tiba. Ibunya mengatakan itu suatu tanda ada peristiwa besar yang
akan terjadi.
Tapi
peristiwa apa itu? Kapan? Marwan bertanya tanya.
Marwan
masih mencoba ke laut untuk mencari ikan keesokan harinya, pukul empat dinihari
dia berangkat dari rumahnya yang cuma berjarak seratus meter dari pantai.
“Hari
ini janganlah melaut dulu kau, istirahatlah dulu, aku pun tak enak badan sejak
tadi malam,” tahan istrinya.
Tapi
Marwan berkeras melaut juga.
Saat
Marwan dan dua kawannya tiba di tengah samudera pagi harinya, di tengah angin
yang berhembus pelan, langit terlihat cerah. Tiba-tiba mereka mendengar suara
gemuruh, mesin kapal tersengal-sengal seperti tersangkut pukat, beberapa detik
kemudian air laut turun membentuk jurang sangat dalam dan perahu Marwan
tersedot ke dasar bumi.
Belum
hilang kekagetan mereka dengan kejadian yang tak pernah mereka alami selama
ini, tiba-tiba perahu kembali dilemparkan ke atas dengan cepat, tapi kemudian
ombak kembali tenang, seperti tak terjadi apa-apa.
Panik
dengan kejadian itu, Marwan mengajak rekannya untuk bergegas pulang. Kemana
larinya ombak raksasa itu? Tanya hati Marwan heran. Firasatnya mengatakan ada
kejadian besar di darat.
Ketika
mendekati pantai, apa yang dikhawatirkannya benar terjadi, melebihi apa yang
dia bayangkan sebelumnya.
Pulau
Nasi luluh lantak, Marwan berlari ke rumahnya, orang-orang ramai sedang
mengurus mayat Ibu, istri dan anak Cut Rani. Marwan sungguh menyesal tidak
menuruti nasihat istrinya untuk beristirahat.
Marwan
merasa dialah yang lebih baik mati daripada istrinya….
Sehabis
memakamkan Ibu, istri dan anak-anaknya serta beberapa korban lainnya, Keuchik
yang memimpin upacara penguburan mencoba tersenyum sesaat setelah mengecek
warganya yang ternyata banyak yang selamat karena mereka sempat berlarian ke
bukit. Dia menepuk-nepuk bahu Marwan meminta Marwan tabah, peluh membanjir
sehabis memakamkan beberapa korban yang meninggal di kampung mereka.
Marwan
termenung sedih di atas bukit, memandang Banda Aceh di kejauhan yang membentang
beberapa belas Mil dari kampungnya, tapi pemandangan itu tidak biasanya, begitu
banyak perubahan terlihat disana.
Tiba
tiba Marwan terkesiap, arus pantai membawa beberapa sosok mayat yang merapat.
Marwan turun dari bukit sambil berteriak memanggili orang orang sekampungnya.
“Ada
mayat, ada mayat!”
Beberapa
orang kampung ikut berlarian ke pinggir pantai, dengan lelah setelah mengubur
beberapa mayat di kampungnya sendiri, mereka menarik mayat-mayat itu ke darat
dan menguburkannya dengan kain kafan yang tersisa di meunasah.
Tapi
sore harinya, mayat mayat kembali terdampar, jumlahnya semakin banyak dan setiap
jam terus bertambah tambah.
Marwan
dan penduduk kampung hanya berdiri memandang tanpa bisa berkata kata, mereka
sudah tak sanggup menguburkan mayat mayat itu lagi. Seseorang tiba-tiba datang
dari arah lain sambil berteriak-teriak.
“Aku
dari pulau beras, kami semua harus mengungsi, hampir semua penduduk kami tewas!
Orang orang di Pasijaneung, Deudap hilang dibawa arus ke laut lepas. Di Alur
Rieung mayat mayat berserakan, tak ada yang menguburkannya!” lalu setelah
berteriak histeris, dia terhempas ke tanah, dia menangis tanpa suara, tangannya
mencakar cakar tanah, membentur benturkan kepalanya.
Keuchik
desa pantai Lamting langsung mendatangi laki-laki itu dan mengangkatnya,
memeluknya, tapi laki-laki itu terus menggerung-gerung hingga Keuchik
melepaskannya dan dia terus menggerung mencakari tanah. Marwan dan para
penduduk lainnya menatap nanar tanpa bisa melakukan apa apa.
Nun
di bibir pantai, serombongan mayat kembali terdampar, bertumpuk tumpuk. Marwan
melapaskan pandangannya ke pantai Banda Aceh, ke Pulau Beras di sisi barat yang
cuma berjarak dua ratus limapuluh meter. Disana mungkin sudah jadi neraka dan
mereka semua meninggal, pikirnya. “Kita harus mengungsi,” kata Keuchik malam
itu di meunasah, salah satu bangunan yang selamat.
“Selain
rumah ini, kita cuma tinggal memiliki rumah sekretaris desa dan bangunan
Koramil, semuanya telah hancur, beruntung hanya empat orang yang meninggal di
kampung kita, tapi di kampung lain sangat banyak. Mayat berserakan mengepung
kita. Kita harus mengungsi dari pulau ini sebelum mayat menjadi lebih banyak
daripada manusia yang hidup.”
Marwan
dan semua penduduk desa Lamting tercekat tak bisa menjawab, kecuali suara
generator listrik sebagai penerangan meunasah yang mengisi keheningan malam.
“Besok
pagi kita harus mengungsi ke pelabuhan menunggu perahu, siapa tahu ada perahu
yang datang. Pulau ini tak ada makanan dan akan penuh penyakit!”
Seseorang
kemudian muncul sambil berteriak-teriak dari arah pantai. “Mayat-mayat dimakan
anjing di pantai, anjing-anjing turun dari hutan, kita harus mengusir
anjing-anjing itu!” teriaknya ketakutan, wajahnya mengkilat karena keringat.
“Kalau
tidak mengungsi, maka kita juga akan dimakan anjing yang ketagihan mayat.”
Marwan
dan penduduk desa lainnya menggigil ketakutan. Malam itu pun berlalu sangat
mencekam.
Keesokan
paginya, hampir semua penduduk desa Lamting mengikuti Keuchik-nya mengungsi ke
pelabuhan, begitu juga penduduk desa-desa lainnya, walau mereka tahu pelabuhan
sudah luluh lantak dan perahu akan meraba raba di mana mereka mesti mendarat.
Tapi
Marwan dan beberapa laki-laki lainnya tak hendak meninggalkan desa mereka,
mereka termenung di pebukitan dan melihat mayat-mayat terus terdampar,
bertumpuk-tumpuk dengan baju yang berwarna-warni, lelaki, perempuan dan anak
anak.
Hingga
malam hari, hanya tinggal Marwan seorang diri karena beberapa kawannya tak
sanggup berlama lama melihat mayat-mayat yang terus berdatangan itu.
Lalu
Marwan melihat banyak anjing bermunculan dan menyerbu ke arah pantai, biasanya
anjing tak sebanyak malam ini, pikirnya. Anjing-anjing itu tampak bergembira,
suaranya tidak seperti biasa, mereka menciumi dan menarik-narik mayat. Mereka
memilih-milih mana yang hendak mereka santap lebih dulu.
Perlahan
bersama anjing-anjing lainnya yang datang menyusul kemudian, Marwan turun ke
pantai, anjing-anjing itu tak takut padanya. Salah seekor anjing yang berbulu
sangat hitam dan bertubuh lebih besar dari anjing lainnya sudah menarik narik
isi perut dari sesosok mayat anak anak hingga semua isi perut mayat anak itu
terburai.
Marwan
tak berani mengusir anjing itu, dia berjalan pelan memperhatikan mayat mayat
lainnya, sinar rembulan yang menyala keemasan membuat wajah-wajah mayat itu
berkilau tertimpa cahaya.
Di
kejauhan Marwan melihat ada cahaya kecil yang bersinar seperti bintang timur,
Marwan penasaran dan ingin mengetahui benda itu. Mungkin intan atau mutiara di
tubuh mayat, pikir Marwan.
Benar
saja, setelah didatanginya, sesosok mayat perempuan yang tengadah memandang
langit, di lehernya terdapat kalung bertahtakan benda bercahaya itu. Ini pasti
sangat mahal, pikir Marwan.
Marwan
seketika berpikir, kalau dia periksa mayat-mayat yang terdampar ini satu
persatu, pastilah di antara mereka banyak yang memiliki barang barang berharga.
Uang,
cincin, kalung berlian….
Seketika
sudut-sudut hati Marwan bergejolak antara mengambil benda-benda berharga si
mayat atau membiarkannya saja. Tapi disertai niat baik, Marwan segera mengambil
kalung mayat perempuan itu.
Aku
akan menyerahkan benda ini kepada Keuchik, kalau bisa dijual untuk membeli
makanan, untuk kepentingan orang yang masih hidup.
Maka
Marwan segera memeriksa mayat-mayat lainnya, terutama mayat perempuan. Tak
sampai satu jam dia sudah memeriksa hampir seratus mayat, dia berhasil
mengumpulkan lima buah cincin emas dengan hiasan batu batu mulia, juga cincin
kawin, beberapa dompet berisi uang, anting anting. Kalau semua dijumlahkan
pastilah harganya sangat mahal. Terakhir dia menarik jaket kulit dari sesosok
mayat laki laki gemuk berkulit putih.
Marwan
lalu meninggalkan pinggir pantai yang terus didatangi mayat-mayat itu, tapi
rupanya anjing-anjing hutan itu tak ingin dia pergi begitu saja. Anjing-anjing
itu seperti tak rela Marwan mengambil barang-barang milik mayat yang mereka
anggap sebagai milik mereka.
Salah
seekor anjing menerkam Marwan seperti babi buruan, Marwan berusaha melawan dan
mereka pun bergumul, tapi anjing-anjing lainnya segera datang membantu dan
mereka mengeroyok Marwan.
Anjing-anjing
itu berhasil melukai dan menggigiti Marwan dengan kuku dan taring taringnya.
Marwan sangat panik dan ketakutan, dia lepaskan semua yang diambilnya dari
mayat-mayat itu. Marwan lalu berlari, dan anjing-anjing itu masih terus
memburunya hingga beberapa puluh meter, setelah Marwan tak berani mendekat
lagi, anjing-anjing itu cepat berbalik mendatangi mayat.
Dan
Marwan terus berlari menjauhi pantai.
Siang
hari Marwan bersama Keuchik dan penduduk desa lainnya menunggu di pelabuhan
yang luluh lantak, berharap datang bantuan perahu menjemput mereka. Luka luka
bekas cakaran dan gigitan anjing-anjing hutan itu tadi malam mulai terasa gatal
di luka lukanya yang basah.
Siang
berlalu, tak ada perahu yang merapat. Baru ketika petang, saat matahari
sebentar lagi tenggelam di ufuk barat, sebuah perahu di tengah laut kebingungan
hendak merapat. Keuchik memerintahkan beberapa orang untuk menyambut perahu
itu.
Perahu
itu membawa sedikit makanan dan air bersih dari Banda Aceh, tanpa mesin. Si
pemilik perahu mendatangi sekejap saudara saudaranya yang selamat, lalu bersama
beberapa orang yang mau mengungsi, dia membawa perahunya kembali ke Banda Aceh,
tepat disaat malam mulai turun. Perahu didayung perlahan, semua orang tak ada
yang bercakap cakap. Hanyut dengan kesedihan mereka masing-masing.
Marwan
termenung memandangi pulau tempat tinggalnya yang semakin jauh di belakang.
Lama lama diperhatikannya pulau itu seperti mayat yang mengapung,
terombang-ambing pelan di permainkan gelombang, di bawah remang cahaya bulan.
No comments:
Post a Comment